Dua puluh lima Agustus dua ribu enam, hari dimana pesawat saya take off meninggalkan Soekarno-Hatta. Ini jelas kesekian kalinya saya minta cap ke imigrasi untuk meninggalkan Indonesia. Namun, perjalanan kali ini jelas berbeda karena sesaat setelah take off saya menangis sampe mata super merah karena sadar, mulai detik itu, I am on my own.
Saya diterima kuliah di Amerika. Sebenarnya saya diterima di tiga tempat: University of Chicago (MS in Computer Science), Columbia University (MS in Data Science) dan New York University (MS in Urban Informatics). Teman-teman saya yang kekinian pun tentu menyarankan saya untuk daftar LPDP, beasiswa yang super ngetren itu. Tapi sayang, saya pernah mencoba sekali dan gagal dua tahun lalu, sebelum saya dan suami hijrah ke Amerika pertama kalinya karena suami diterima bekerja di sana. Hipotesis kami adalah karena suami bekerja di Amerika sehingga sepertinya sulit meyakinkan interviewer kalau kami bakal kembali ke Indonesia.
Kami jelas pasti kembali. Semua keluarga ada di Indonesia. Pun saya ingin berkarya di Indonesia. Bekerja di Amerika adalah salah satu sarana suami untuk mendapat pengalaman agar kelak kembali ke Indonesia tidak cupu, “merepotkan”, dan punya skill bersaing (baca: Calon Sarjana Komputer Ndak Bisa Ngoding Salah Siapa). Berkaca dari kegagalan sebelumnya, suami akhirnya resign agar peluang saya diterima beasiswa lebih besar.
Nyatanya tidak.
Saya harus menerima kenyataan bahwa saya gagal mendapatkan beasiswa ini untuk kedua kalinya, yang artinya saya tidak bisa mencoba kembali. Sedih, tapi saya harus mengambil keputusan dan keputusan saya adalah tetap bersekolah. Kenapanya akan saya ceritakan di lain post. Saya rela melepaskan Columbia University untuk bersekolah di New York University dimana saya mendapat beasiswa parsial dan menambal kelebihannya dengan tabungan dan berhutang pada keluarga. Sebagai anak yang selalu mendapatkan beasiswa penuh selama sekolah (SMP, SMA dan S1), ini adalah pertama kalinya setelah 10 tahun, saya harus membayar sekolah saya sendiri.
Tapi beruntung saya tinggal di New York. A city that doesn’t sleep kata Frank Sinatra. Kota di mana segala rupa manusia tinggal, dari golongan orang terkaya di dunia macam Michael Bloomberg dan Donald Trump, artis macam Taylor Swift, rakyat jelata, hingga ribuan homeless yang tinggal di shelter — atau bahkan di pinggir jalan. Ada waktu-waktu dimana saya merasa down ketika saya atau suami gagal diterima pekerjaan, atau sehabis kumpul dengan teman-teman dari LPDP yang bikin saya teringat kegagalan saya mendapatkan bantuan semilyar untuk hidup dan kuliah disini. Tapi begitu berjalan ke stasiun subway dan mendapati pengamen, atau pengemis, saya sering menangis dan sadar betapa masih beruntungnya saya dibanding mereka. Kota ini membuat saya sadar, yang berjuang bukan cuma kamu, Mon.
Untuk itu, selamat berjuang untuk siapa saja yang sedang berjuang. Entah yang sedang mencari pekerjaan, berusaha menyelesaikan studi, maupun berjuang mendapatkan pujaan hati. Chin up! This too shall pass and you’ll be stronger in the end :)
— Ditulis untuk menghibur diri sendiri. New York, 27 November 2016.