Jogja Sempit

Mona
5 min readJun 25, 2020

Saya dulu kuliah S1 di Teknik UGM. Dulu waktu saya kuliah, center-nya kampus adalah gedung kantor pusat fakultas teknik (KPFT — sekarang sudah diruntuhkan untuk dibuat gedung baru — RIP), di mana lantai dasarnya adalah selasar, sehingga semua orang bebas lalu lalang. Tiap lewat selasar KPFT, pasti adaaaa aja yang menyapa saya sampai-sampai teman saya bingung

“Kok kayaknya kamu kenal sama semua orang?” “Jogja sempit” jawab saya.

Sebagai orang yang dari taman kanak-kanak hingga kuliah di Jogja, saya punya keyakinan kuat bahwa Jogja itu sempit. Tidak seperti Jakarta, jumlah sekolah di Jogja sedikit tapi kapasitasnya relatif besar-besar, sehingga kalau pindah jenjang sekolah, pasti cuma tukeran teman dengan teman di sekolah sebelumnya.

Penasaran, saya coba buktikan dengan mengambil sampel circle saya sendiri. Saya kunjungi satu-satu halaman Facebook 3,300 teman saya dengan menggunakan selenium dan python script dari sini, kemudian saya ambil list mutual friend-nya. Butuh waktu hampir sebulan untuk menyelesaikan scrappingnya karena Facebook akan menge-ban akun kita setelah sekian request setiap harinya. Setelah sebulan, laptop saya tiba-tiba rusak BIOSnya 😛 sedemikian hingga saya sarankan teman-teman untuk berhati-hati jika ingin melakukan hal serupa. Resiko tanggung sendiri yaa.

Setelah itu saya visualisasikan datanya dengan good-ol Gephi. Saya sudah coba macam-macam tools tapi emang yang paling gampang dipakai dan di-custom adalah Gephi. Saya gunakan Force Atlas 2 sebagai algoritma untuk menentukan layout dan Modularity metrics sebagai penentu cluster-nya. Berikut adalah hasilnya

Visualisasi Jejaring Facebook

Bentuk jejaring sosial saya ternyata mirip ubur-ubur dengan satu blob besar seperti kepala di atas dan beberapa kaki. Kepala inilah cluster Jogja saya. Betapa saya ternyata tidak keluar dari zona nyaman :))

Setelah saya telaah, ternyata selama hidup, saya punya sekitar 11 kelompok yang menemani saya dan mendefinisikan Mona yang sekarang. Yang terbesar adalah jaringan SMA saya, (kuning-oranye), disusul jaringan satu jurusan S1 saya (nila), dan jaringan SD/SMP (merah). Kemudian ada beberapa jaringan kecil yang tidak terlalu terkait satu sama lain tapi sangat membentuk kepribadian saya, seperti jaringan lomba matematika dan olimpiade (biru muda), jaringan keluarga (biru), jaringan Diaspora Indonesia di Amerika (biru-ungu), jaringan komunitas IT di luar kampus (ungu), jaringan kuliah lanjut (hijau muda), jaringan yang saya kenal karena part-time semasa kuliah (merah tua), dan jaringan teman yang saya ketemu setelah mengikuti Microsoft Student Partner di Amerika (hijau tua).

Di tengah-tengah ada jaringan UGM (warna ungu muda) yang menjadi center dari sebagian besar jaringan saya, utamanya jaringan SD/SMP, SMA, part-time, jaringan jurusan S1, jaringan lomba matematika & olimpiade, bahkan pangkal dari jaringan diaspora saya. Inilah kenapa ketika saya jalan di selasar KPFT, ada aja yang nyapa.

Oke, mari kita bicara sedikit tentang statistik untuk melihat seberapa erat jaringan saya. Ternyata kalaupun saya tidak ada dalam universe ini, rerata jarak A ke B untuk A dan B adalah teman saya (average path) adalah 2,6. Artinya, jika saya tidak ada di dunia ini dan teman saya A ingin kenalan dengan teman saya B, 40% kemungkinan A hanya butuh 1 orang untuk kenalan dengan B dan 60% kemungkinan A butuh 2 orang untuk kenalan dengan B.

Nilainya mengecil untuk circle Jogja saya. Ketika saya hapus orang-orang yang saya kenal di luar Jogja (dan tentunya saya sendiri), reratanya jaraknya (average path) jadi 2,3.

Bubble Jogja

Artinya, untuk teman-teman Jogja saya, jika saya tidak ada di dunia ini tapi A ingin kenalan dengan B, 70% kemungkinan harus dikenalkan dengan 1 orang dan 30% kemungkinan harus dikenalkan dengan 2 atau lebih orang. Dengan kata lain, kalo A dan B yang tidak pernah kenal ini random ketemu, 70% kemungkinan mereka punya mutual friend yang bukan saya.

Untuk menentukan apakah network ini tergolong kecil, saya mengacu pada Small-World model oleh Watts-Strogatz. Ada dua hal penting yang menandakan apakah sebuah network itu small, yaitu nilai clustering dan diameter. Sebuah small world akan memiliki nilai clustering yang tinggi namun diameter yang rendah.

Komponen Small World

Nilai clustering mengindikasikan seberapa terkoneksinnya sebuah jaringan, nilainya dari 0 ke 1, sedangkan diameter adalah jarak terjauh yang harus ditempuh apabila dua orang ingin berkenalan. Pernah dengar 7 degrees of separation? Konon katanya semua orang di dunia ini hanya butuh 6 orang lainnya untuk bisa kenal satu sama lain (jaraknya 7). Menurut model Watts-Strogatz, sebuah jaringan dikatakan kecil apabila nilai clustering-nya lebih dari sama dengan 0,33 dan diameternya kurang dari atau sama dengan O(log n) dengan n adalah jumlah nodes. Di kasus saya, karena saya punya sekitar 3,300 teman dan 2,600 teman Jogja, diameternya berarti harus kurang dari sama dengan 11.

Hasil hitung-hitungan

Ternyata, untuk kedua jaringan saya, dua-duanya memiliki nilai clustering lebih dari 0,33 dan kurang dari 11. Sehingga terbukti bahwa pertemanan saya memang sempit. Apakah kemudian Jogja sempit? Dalam konteks pertemanan saya yang tiga ribu orang ini, iya, tapi bisa jadi saya tinggal di dalam bubble tertentu yang tidak saya sadari di dalam bubble general Jogja. Bubble sekolah favorit misalnya, karena kebetulan saya bersekolah di sekolah favorit selama SMP-SMA-kuliah. Untuk membuktikan apakah seluruh Jogja itu sempit, bakal butuh sample dari lebih banyak network yang berbeda. Semoga lain kali kalo saya niat dan iseng, saya bisa bikin eksperimen untuk mengumpulkan lebih banyak sumber lagi untuk membuktikan bahwa Jogja memang sempit ;)

--

--